![]() |
Penulis Harir Rizky Tullah, Staf Media Pusat Kerohanian dan Moderasi Beragama, Founder Komunitas Ruang Lingkup |
Volunteer Pedia | Opini --- Kebahagiaan sejati adalah konsep yang sering kali dipahami secara keliru. Banyak orang mengira bahwa kebahagiaan dapat diraih melalui pencapaian materi, kesuksesan karier, atau pengakuan dari orang lain. Namun, semua itu hanya memberikan kepuasan sementara. Sebaliknya, kebahagiaan yang hakiki berasal dari dalam diri, yang diperoleh melalui penerimaan diri, rasa syukur, dan kedekatan spiritual.
Penerimaan diri adalah langkah pertama menuju kebahagiaan. Ini berarti kita mampu menerima diri kita apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangan. Menerima bukan berarti pasrah tanpa usaha, tetapi memahami bahwa setiap orang memiliki kelemahan dan kekuatan masing-masing. Ketika kita mampu menerima diri sendiri, kita tidak lagi terjebak dalam keinginan untuk menjadi orang lain atau memenuhi ekspektasi yang tidak realistis.
Rasa syukur juga memainkan peran penting. Ketika kita bersyukur, kita fokus pada apa yang kita miliki, bukan pada apa yang kita kurang. Rasa syukur mengajarkan kita untuk menghargai hal-hal kecil dalam hidup, seperti kesehatan, keluarga, dan momen-momen sederhana yang sering terlewatkan. Dengan bersyukur, kita mengarahkan perhatian kita pada kebahagiaan yang sudah ada, bukan yang masih kita cari.
Selain itu, kedekatan dengan Tuhan adalah sumber kebahagiaan yang tak ternilai. Dalam Islam, kebahagiaan sejati diperoleh melalui hubungan yang intim dan ikhlas dengan Allah. Ketika kita beribadah, berdoa, dan berzikir, kita merasakan kedamaian batin yang sulit ditemukan di tempat lain. Dalam Al-Quran, Allah berfirman, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra'd: 28). Kedekatan spiritual ini membantu kita memahami bahwa hidup ini lebih dari sekadar pencapaian duniawi; ada makna yang lebih besar yang perlu kita kejar.
Perjalanan menuju kebahagiaan sejati juga mencakup pengendalian diri dan penyeimbangan antara kebutuhan duniawi dan spiritual. Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kekayaan jiwa ini diperoleh ketika kita mampu mengendalikan hawa nafsu dan keinginan yang berlebihan, serta menjaga diri dari sikap tamak.
Memahami kebahagiaan sejati juga berarti menyadari bahwa hidup ini penuh dengan ujian dan cobaan. Ketika kita mampu menghadapi cobaan dengan sabar dan tawakal, kita akan merasakan kebahagiaan yang lebih dalam. Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin, semua urusannya adalah kebaikan. Jika ia mendapat kebaikan, ia bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika ia ditimpa kesulitan, ia bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim). Ini mengajarkan kita bahwa kebahagiaan tidak selalu berarti tidak adanya masalah, tetapi kemampuan untuk melihat hikmah di balik setiap kejadian.
Akhirnya, kebahagiaan sejati bukanlah tujuan akhir, tetapi perjalanan yang kita lalui setiap hari. Setiap langkah yang kita ambil dalam penerimaan diri, rasa syukur, dan kedekatan dengan Tuhan adalah bagian dari perjalanan menuju kebahagiaan yang hakiki. Dengan memahami dan mengamalkan prinsip-prinsip ini, kita tidak hanya menemukan kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga menjadi sumber kebahagiaan bagi orang lain di sekitar kita. []