Dari Hulu ke Hilir, dari Mahkamah Konstitusi hingga ke Mahkamah Agung, dari Indonesia Emas ke Indonesia Cemas: Supremasi Hukum aroma Politik Liar

Oleh : Khaliza Zahara
(Pengawas Partisipatif Kabupaten Pidie, Mahasiswi Magister Hukum USK)


Volunteer Pedia  | Jakarta --- Putusan Mahkamah Agung soal usia kepala daerah menuai pro kontra ditengah-tengah kegemingan hukum Indonesia dan hal tersebut akan membuka jalan seluas-luasnya untuk beberapa kandidat yang sekiranya belum memenuhi syarat untuk maju pada pilkada 2024 mendatang ini, tak terkecuali membuka jalan bagi Kaesang Pangarep menjadi gubernur, wali kota, atau bupati dalam pilkada pada 27 November 2024. Dan hal ini mengingatkan kita sebagai masyarakat pada putusan nomor 90/PUU/XXI/2023 Oktober yang maha dahsyat sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi.

Jika melihat putusan Mahkamah Agung ini, kita dapat merasakan bahkan masyarakat awam sekalipun akan merasa kejanggalan, tak hanya terbit tiga hari setelah gugatan, namun kita dapat merasakan bahwa argumen hukumnya pun tidak wajar. Jika pertimbangan hakim agung mengabulkan gugatan itu untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum, seharusnya putusan tersebut berlaku untuk pemilihan kepala daerah berikutnya agar tak terkesan melayani kepentingan politik jangka pendek sekelompok orang saja.

Dan pun jika ingin melihat atau menghadirkan nilai keadilan dan nilai kepastian hukum maka tak ada salahnya jika kita mengingat kembali teori keadilan yang dipelopori oleh beberapa tokoh dari mulai Aristoteles hingga John Rawls makna adil itu sendiri jika kita lihat berasal dari kata adil, dan menurut Kamus Bahasa Indonesia adil adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah. Adil terutama mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma objektif. Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang relatif, setiap orang tidak sama, adil menurut yang satu belum tentu adil bagi yang lainnya, ketika seseorang menegaskan bahwa ia melakukan suatu keadilan, hal itu tentunya harus relevan dengan ketertiban umum dimana suatu skala keadilan diakui. Skala keadilan sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, setiap skala didefinisikan dan sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan ketertiban umum dari masyarakat tersebut.

Di Indonesia keadilan digambarkan dalam Pancasila sebagai dasar negara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam sila lima tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan dalam hidup bersama. Adapun keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungannya manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya manusia dengan masyarakat, bangsa, dan negara, serta hubungan manusia dengan Tuhannya.

Nilai-nilai keadilan tersebut haruslah merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan dalam hidup bersama kenegaraan untuk mewujudkan tujuan negara, yaitu mewujudkan kesejahteraan seluruh warganya dan seluruh wilayahnya, mencerdaskan seluruh warganya. Demikian pula nilai-nilai keadilan tersebut sebagai dasar dalam pergaulan antar negara sesama bangsa didunia dan prinsip-prinsip ingin menciptakan ketertiban hidup bersama dalam suatu pergaulan antarbangsa di dunia dengan berdasarkan suatu prinsip kemerdekaan bagi setiap bangsa, perdamaian abadi, serta keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial).

Tapi putusan yang dikeluarkan Mahkamah Agung kali ini dengan berbagai kejanggalan itu nampaknya menciderai makna serta prinsip keadilan yang di eluh-eluhkan oleh John Rawls, seorang filsuf  Amerika Serikat tak sembarang dalam memberikan makna keadilan yang mana menurut Rawls keadilan pada dasarnya merupakan sebuah fairness, atau yang Rawls sebut pure procedural justice. Maka dalam putusan MK kali ini prinsip fairness yang di paparkan oleh Rawls gugur sudah, karena keberpihakan terhadap politik jelas nyata terlihat sehingga melahirkan keputusan-keputusan politik tersebut tak mampu menjamin kepentingan semua orang melainkan hanya segelintir orang.

Ada tiga klaim moral dalam teori keadilan Rawls, yaitu pertama, klaim penentuan diri, yakni masalah otonomi dan independensi warga Negara, kedua, distribusi yang adil atas kesempatan, peranan, kedudukan, serta barang dan jasa milik publik (primary social goods), dan ketiga, klaim yang  berkaitan dengan beban kewajiban dan tanggungjawab yang adil terhadap orang lain. Dan yang paling layak klaim moral terhadap putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung kali ini adalah klaim moral yang ketiga, yaitu bagaimana kita bisa menilai dengan sangat jelas moral dari lembaga pengadilan yang hakikatnya bisa memberikan kewajiban dan tanggungjawab yang adil kepada orang lain, malah membawa malapetaka yang tak diinginkan, bagaimana tidak. Kali ini palu hakim patah kesekian kalinya dihadapan politik, parau suara keadilan dihadapan politik memang sudah terjadi kesekian kalinya mudah melacak hal-hal yang aneh di dalam putusan MA ini dari mulai MA yang sebenarnya tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan isi Undang-Undang atau Judicial Review. 

Mengenai Kepastian Hukum yang didapatkan dalam putusan MK ini, sebelumnya mungkin kita dapat melihat bahwa teori kepastian hukum yang diperkenalkan oleh Gustav Radbruch, Gustav mengartikan bahwa hukum merupakan hal positif yang mampu mengatur kepentingan setiap manusia yang ada dalam masyarakat dan harus selalu ditaati meskipun hukum positif tersebut dinilai kurang adil. Lebih lanjut Gustav menyebutkan kepastian hukum individu yang memiliki hak adalah yang telah mendapatkan putusan dari keputusan hukum itu sendiri.

Dari teori kepastian hukum yang diungkapkan oleh Gustav, kita dapat melihat bahwa Gustav hanya melihat kepastian yang harus diperoleh oleh satu individu saja, padahal kepastian hukum lebih jauh dari itu, kepastian hukum tidak hanya hak yang diperoleh oleh satu individu melainkan bagaimana individu-individu lainnya juga bisa mendapatkan kepastian hukum akibat putusan yang dilahirkan oleh lembaga pengadilan. Jika kita melihat putusan MA terkait soal usia kepala daerah, Gustav hanya melihat satu sisi saja yaitu hanya sisi kandidat yang akan maju untuk menjadi calon kepala daerah, tanpa melihat dampak apa yang dirasakan oleh putusannya kepada masyarakat banyak. Disini pula terdapat kebuntuan dalam menafsirkan kepastian hukum yang seharusnya. 

Mengubah atau membatalkan ketentuan syarat usia calon kepala daerah seharusnya itu ditempuh hanya dengan dua cara: yaitu melalui legislative review MK dan oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan itupun jika dalam keadaan darurat. Tetapi disini nampak jelas tak ada unsur kedaruratan yang nyata, malah melampaui dari kedaruratan itu yaitu melahirkan kesesatan melalui putusan yang diterbitkan MA. 

Dalam hal menempatkan hukum pada posisi tertinggi dan menempatkan hukum pada tempatnya sehingga hukum dapat melindungi seluruh warga masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun, termasuk oleh penyelenggara Negara. Seharusnya supremasi hukum tidak sekedar ditandai oleh tersedianya aturan hukum yang ditetapkan, melainkan sakralnya dan seharusnya harus diiringi oleh kemampuan menegakkan kaidah hukum. Namun Supremasi hukum tinggal cerita begitulah nyatanya dan Indonesia kembali ke era otoritarianisme. Sebab, politik dan kekuasaan menentukan segala-galanya, tak peduli merusak etika, demokrasi, serta supremasi hukum. 

Praktik penyalahgunaan kekuasaan sudah sangat jelas dipertontokan, sehingga hukum kandas digenggaman politik. Lantas konsekuensi putusan Mahkamah Agung (MA). Secara ketatanegaraan, mudah untuk mengatakan bahwa konsekuensi putusan MA adalah anak Presiden lagi-lagi mendapatkan karpet  merah untuk menjadi gubernur, wali kota, atau bupati dalam kontestasi pilkada mendatang. Mau maju atau tidak tentu saja akan menjadi pilihan baginya. Namun, bukan itu sesungguhnya persoalan utama yang ada. Persoalannya adalah putusan ini berpotensi merusak begitu banyak hal.

Merusak open legal policy secara serampangan, membiarkan konflik kepentingan yang akan berlanjut, membiarkan gejala yuristokrasi dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan memutuskan hal yang seharusnya “haram”dilakukan lembaga Mahkamah Agung (MA), dan lagi-lagi nampak begitu jelas bagaimana intervensi itu jelas nyata adanya di lembaga sakral pengadilan. Dari putusan ini pula kita dapat melihat cerminan betapa rusaknya wajah MA dalam putusan kali ini. Ya benar supremasi hukum Indonesia telah dihajar oleh politik dan konflik kepentingan. []

Lebih baru Lebih lama